Hadits
Dhaif yang Sangat Populer
“Tuntutlah
ilmu, walaupun di negeri Cina”. [HR Ibnu Addi dalam Al-Kamil (207/2),
Abu Nuaim dalam Akhbar Ashbihan (2/106), Al-Khathib dalam Tarikh Baghdad
(9/364), Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal (241/324), Ibnu Abdil Barr dalam Al-Jami
(1/7-8), dan lainnya, semuanya dari jalur Al-Hasan bin Athiyah, ia berkata, Abu
Atikah Tharif bin Sulaiman telah menceritakan kami dari Anas secara marfu Ini
adalah hadits dhaif jiddan (lemah sekali), bahkan sebagian ahli hadits
menghukuminya sebagai hadits batil, tidak ada asalnya. Ibnul Jauziy
rahimahullah- berkata dalam Al-Maudhuat (1/215) berkata, Ibnu Hibban berkata,
hadits ini batil, tidak ada asalnya. Oleh karena ini, Syaikh Al-Albaniy
rahimahullah- menilai hadits ini sebagai hadits batil dan lemah dalam
Adh-Dhaifah (416). As-Suyuthiy dalam Al-Laali Al-Mashnuah (1/193) menyebutkan
dua jalur lain bagi hadits ini, barangkali bisa menguatkan hadits di atas.
Ternyata, kedua jalur tersebut sama nasibnya dengan hadits di atas, bahkan
lebih parah. Jalur yang pertama, terdapat seorang rawi pendusta, yaitu Yaqub
bin Ishaq Al-Asqalaniy. Jalur yang kedua, terdapat rawi yang suka memalsukan
hadits, yaitu Al-Juwaibariy. Ringkasnya, hadits ini batil, tidak boleh
diamalkan, dijadikan hujjah, dan diyakini sebagai sabda Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam
1.
“Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka sungguh
dia akan mengenal Rabb (Tuhan)-Nya”. Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- dalam
Adh-Dha’ifah (1/165) berkata, “Hadits ini tidak ada asalnya” [Adh-Dha’ifah
(1/165)]. An-Nawawiy berkata, “Hadits ini tidak tsabit (tidak shahih)”
[Al-Maqashid (198) oleh As-Sakhawiy]. As-Suyuthiy berkata, “Hadits ini tidak
shahih” [Lihat Al-Qaul Asybah (2/351 Al-Hawi)]. Ringkasnya, hadits ini
merupakan hadits palsu yang tidak ada asalnya. Oleh karena itu, seorang muslim
tidak boleh mengamalkannya, dan meyakininya sebagai sabda Nabi -Shallallahu
‘alaihi wa sallam-.
2.
“Agama adalah akal pikiran, Barangsiapa yang
tidak ada agamanya, maka tidak ada akal pikirannya”. [HR An-Nasa`iy
dalam Al-Kuna dari jalurnya Ad-Daulabiy dalam Al-Kuna wa Al-Asma’ (2/104) dari
Abu Malik Bisyr bin Ghalib dan Az-Zuhri dari Majma’ bin Jariyah dari pamannya]
Hadits ini adalah hadits lemah yang batil karena ada rawinya yang majhul, yaitu
Bisyr bin Ghalib. Bahkan Ibnu Qayyim -rahimahullah- berkata dalam Al-Manar
Al-Munif (hal. 25), “Hadits yang berbicara tentang akal seluruhnya palsu”. Oleh
karena itu Syaikh Al-Albaniy berkata, “Di antara hal yang perlu diingatkan
bahwa semua hadits yang datang menyebutkan keutamaan akal adalah tidak shahih
sedikit pun. Hadits-hadits tersebut berkisar antara lemah dan palsu. Sungguh
aku telah memeriksa, di antaranya hadits yang dibawakan oleh Abu Bakr Ibnu Abid
Dunya dalam kitabnya Al-Aql wa Fadhluh, maka aku menemukannya sebagaimana yang
telah aku utarakan, tidak ada yang shahih sama sekali” [Lihat Adh-Dhi’ifah
(1/54)].
3.
“Barangsiapa yang tidak mengenal imam (penguasa)
di zamannya, maka ia mati seperti matinya orang-orang jahiliyah”. Ahmad bin Abdul
Halim Al-Harraniy berkata, “Demi Allah, Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa
sallam- tidaklah pernah mengatakan demikian . . .”. [Lihat Adh-Dha’ifah
(1/525)] Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- berkata setelah menyatakan bahwa
hadits ini tidak ada asal-muasalnya, “Hadits ini pernah aku lihat dalam
sebagian kitab-kitab orang-orang Syi’ah dan sebagian kitab orang-orang Qadiyaniyyah
(Ahmadiyyah). Mereka menjadikannya sebagai dalil tentang wajibnya berimam
kepada si Pendusta mereka yang Mirza Ghulam Ahmad, si Nabi gadungan. Andaikan
hadits ini shahih, niscaya tidak ada isyarat sedikit pun tentang sesuatu yang
mereka sangka, paling tidak intinya kaum muslimin wajib mengangkat seorang
pemerintah yang akan dibai’at” [Lihat As-Silsilah Adh-Dha’ifah (No. 350).
4.
“Perselisihan di antara umatku adalah rahmat”. Padahal hadits ini
dha’if (palsu), bahkan tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadits. Syaikh
Al-Albaniy -rahimahullah- berkata, "Hadits ini tak ada asalnya. Para ahli
hadits telah mengerahkan tenaga untuk mendapatkan sanadnya, namun tak
mampu". Dari segi makna, hadits juga batil. Ibnu Hazm -rahimahullah- dalam
Al-Ihkam (5/64) berkata, "Ini merupakan ucapan yang paling batil, karena
andaikan ikhtilaf (perselisihan) itu rahmat, maka kesepakatan adalah kemurkaan.
Karena, di sana tak ada sesuatu, kecuali kesepakatan, dan perselihan; tak ada,
kecuali rahmat atau kemurkaan".
5.
“Hampir-hampir kefakiran itu mendekati
kekafiran”. [HR Al-'Uqoiliy dalam Adh-Dhuafa (419), dan Abu Nuaim
dalam Al-Hilyah (3/53) dari jalur Sufyan, dari Al-Hajaj dari Yazid Ar-Raqasyiy
dari Anas secara marfu'.] Banyak di antara kaum muslimin pada hari ini yang
jauh dari agamanya, tidak mau menghadiri majelis ilmu, karena sibuk dengan
pekerjaannya. Bahkan terkadang ia tertinggal shalat jama’ah. Mereka amat cinta
kepada dunianya, namun lupa bekal akhiratnya. Lalainya dengan kehidupan dunia
sampai lupa akhiratnya, karena ada beberapa faktor di antaranya karena pernah
mendengar hadits. Padahal hadits ini adalah hadits dha’if (lemah), tidak boleh
diamalkan, diyakini, dan dikategorikan sebagai sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi
wa sallam-. Hadits ini lemah karena Yazid Ar-Ruqosyiy dan Hajjaj, keduanya
lemah. Oleh karena itu, Syaikh Al-Albany men-dha’ifkannya dalam Takhrij
Musykilah Al-Faqr (hal. 9). Dari segi redaksi hadits ini aneh !!! Karena berapa
banyak orang miskin dan fakir tidak mendekati kekafiran, apalagi jadi kafir.
Lihatlah realita kebanyakan sahabat; mereka fakir, tapi tidak kafir. Yang
benar, jika ilmu dan iman seseorang kurang, maka di sinilah seseorang terkadang
mendekati kekufuran, bahkan kafir, Na’udzu billahi min dzalik.
6.
“Barangsiapa yang adzan, maka dialah yang iqamat” [HR Abu Dawud
(514), At-Tirmidziy (199), dan lainnya] Hadits ini lemah karena berasal dari
Abdurrahman bin Ziyad Al-Afriqiy. Dia lemah hafalannya. Sebab itu Al-Albaniy
melemahkannya dalam Adh-Dha’ifah (No. 35) dan Al-Irwa’ (237). Syaikh Al-Albaniy
berkata dalam Adh-Dha’ifah (1/110), “Di antara dampak negatif hadits ini, dia
merupakan sebab timbul perselisihan di antara orang-orang yang mau shalat, sebagaimana
hal itu sering terjadi. Yaitu ketika tukang adzan terlambat masuk mesjid karena
ada udzur, sebagian orang yang hadir ingin meng-iqamati shalat, maka tak ada
seorang pun di antara mereka kecuali ia menghalanginya seraya berhujjah dengan
hadits ini. Orang miskin ini tidaklah tahu kalau haditsnya lemah, tidak boleh
mengasalkannya kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, terlebih lagi
melarang orang bersegera menuju ketaatan kepada Allah, yaitu mengiqamati
shalat”.
7.
“Nabi Adam turun di India, dan beliau merasa
asing. Maka turunlah Jibril seraya mengumandangkan adzan, “Allahu Akbar,
Asyhadu Alla Ilaha illallah (dua kali), asyhadu anna Muhammdan rasulullah (dua
kali). Adam bertanya, “Siapakah Muhammad itu?” Jibril menjawab, “Cucumu yang
paling terakhir dari kalangan nabi” [HR Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqa
(2/323/2)] Hadits ini dha’if (lemah), atau palsu, karena ada seorang rawi dalam
sanadnya yang bernama Muhammad bin Abdillah bin Sulaiman. Orang yang bernama
seperti ini ada dua; yang pertama dipanggil Al-Kufiy, orangnya majhul (tidak
dikenal), sedang orang yang seperti ini haditsnya lemah. Yang satunya lagi,
dikenal dengan Al-Khurasaniy. Orang ini tertuduh dusta. Jika dia yang terdapat
dalam sanad ini, maka hadits ini palsu. Hadits ini didha’ifkan oleh Syaikh
Al-Albaniy dalam Adh-Dha’ifah (403).
8.
“Sebaik-baik pengingat adalah alat tasbih.
Sesungguhnya sesuatu yang paling afdhal untuk ditempati bersujud adalah tanah
dan sesuatu yang ditumbuhkan oleh tanah” [HR Ad-Dailamiy (4/98- sebagaimana dalam
Mukhtasharnya)] Hadits ini adalah hadits yang palsu sebagaimana yang dinyatakan
oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Adh-Dha’ifah (83), karena adanya rawi-rawi yang
majhul. Selain itu hadits ini secara makna adalah batil, sebab tasbih tidak ada
di zaman Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
9.
“Bacalah Al-Quran dengan perasaan sedih, karena
dia turun dengan kesedihan” [HR Al-Khallal dalam Al-Amr Bil Ma'ruf (20/2) dan Abu
Sa'id Al-‘Arabiy dalam Mu'jam-nya (124/1)]. Dalam sanadnya terdapat rawi yang
bernama Uwain bin Amr Al-Qaisiy, dia adalah seorang yang mungkarul hadits lagi
majhul menurut Al-Bukhariy. Selain itu juga ada rawi yang bernama Ismail bin
Saif, dia adalah seorang yang biasa mencuri hadits, dan meriwatkan hadits yang
lemah dari orang-orang yang tsiqah. Tak heran jika Al-Albaniy menyatakan hadits
ini dha’if jiddan (lemah sekali) dalam kitabnya Adh-Dha’ifah (2523).
10. “Amalan
yang sedikit akan bermanfaat, jika disertai oleh ilmu; dan amalan yang banyak
tidak akan bermanfaat, jika disertai kejahilan” [HR Ibnu Abdil Barr dalam
Jami' Bayan Al-'Ilm wa Fadhlih (1/145)] Bermalas malasan dalam beribadah sudah
menjadi kebiasaan sebagian kaum muslimin. Ada beberapa faktor yang menyebabkan
hal tersebut diantaranya rasa takutnya kepada Allah masih kurang, keimanan
terhadap Hari Pembalasan masih minim, dan ada juga yang malas karena mungkin
beramal dengan hadits ini. Hadits ini dhaif, bahkan palsu, disebabkan adanya 3
rawi: [1] Muhammad bin Rauh bin ‘Imran Al-Qutairiy (orangnya lemah), [2]
Mu’ammal bin Abdur Rahman Ats-Tsaqafiy (orang dha’if). Ibnu Adi
berkata,”Dominan haditsnya tidak terpelihara”; [3] Abbad bin Abdush Shomad.
Ibnu Hibban berkata, “…Abbad bin Abdush Shamad menceritakan kami dari Anas
tentang suatu naskah hadits, seluruhnya maudhu’ (palsu)”. Al-Albaniy berkata, “Hadits
ini Palsu” [lihat Adh-Dha'ifah (369)].
11. “Jika
kalian shalat di belakang imam kalian, perbaikilah wudhu’ kalian, karena
kacaunya bacaan imam bagi imam disebabkan oleh jeleknya wudhu’ orang yang ada
di belakang imam” [HR Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (1/1/63)]. Seorang
imam terkadang salah dalam bacaannya. Jika ia salah, maka muncullah beberapa
persangkaan yang buruk. Ada di antara mereka berpendapat bahwa kacaunya bacaan
imam disebabkan adanya di antara jama’ah yang tak beres melaksanakan wudhu’ atau
mandi junub. Ini didasari oleh hadits palsu yang bukan hujjah, Hadits ini
palsu, sebab di dalamnya terdapat rawi yang majhul, seperti Abdullah bin Aun
bin Mihraz, Abdullah bin Maimun. Rawi lain, Muhammad bin Al-Furrukhan, ia
seorang yang tak tsiqah. Dari sisi lain, sudah dimaklumi bahwa jika Ad-Dailamiy
bersendirian dalam meriwayatkan hadits dalam kitabnya Musnad Al-Firdaus, maka
hadits itu palsu. Karenanya, Syaikh Al-Albaniy menyatakan palsunya hadits ini
dalam Adh-Dha’ifah (2629).
12. “Beramallah untuk duniamu
seakan-akan engkau hidup akan selamanya dan beramallah untuk akhiratmu
seakan-akan engkau akan mati besok”. Ini bukanlah sabda Nabi -Shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, walaupun masyhur di lisan kebanyakan muballigh
di zaman ini. Mereka menyangka bahwa ini adalah sabda beliau -Shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-. Sangkaan seperti ini tidaklah muncul dari
mereka, kecuali karena kebodohan mereka tentang hadits. Di samping itu, mereka
hanya “mencuri dengar” dari kebanyakan manusia, tanpa melihat sisi
keabsahannya. Hadits ini diriwayatkan dua sahabat. Namun kedua hadits tersebut
lemah, karena di dalamnya terdapat inqitha’ (keterputusan) antara rawi dari
sahabat dengan sahabat Abdullah bin Amer. Satunya lagi, Cuma disebutkan oleh
Al-Qurthubiy, tanpa sanad. Oleh karena itu, Syaikh Al-Albaniy mendha’ifkan
(melemahkan) hadits ini dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah (No. 8). Sumber:
Dari berbagai sumber